Blog Archive
"Jiwaku berkata padaku dan menasehatiku agar mencintai semua orang yang membenciku, dan berteman dengan mereka yang memfitnahku." - Kahlil Gibran
Diberdayakan oleh Blogger.
Minggu, 24 Maret 2013
Lihatlah Lembayung Hari Rabu Di Bulan September Ini. Semburatnya
mengiring langkahmu di taman ini, Mina. Dia juga membiaskan warnanya di pipimu
yang tidak tersentuh bedak. Ah, kau tampak manis, Mina. Tapi aku tak bisa
menyentuhmu, menyentuh halusnya kulitmu dan mencium aroma sabun dan tubuhmu. Ya,
aku hanya bisa memandangmu dari balik pohon yang tak lagi rindang karena
kemarau panjang. Kemarau, seperti hatiku yang menunggu adanya kesejukan darimu,
seperti sebuah oasis di pandang pasir nun jauh di Afrika sana. Bisakah kau
melihatku berdiri di sini?
Mina,
bulan ini seluruh hariku menjadi Rabuku. Kelam, sejak cintaku tak bisa lagi
dirasakan malam itu—bulan yang lalu. Tapi cintaku tak luruh untukmu, cintaku
tak akan pernah menjadi malam. Cintaku akan selalu menjadi pagi.
**
Hari ini aku melihatmu lagi. Kau terduduk dan menunduk. Ada apa,
Mina? Apa yang terjadi? Apa yang terjadi sehingga tak kulihat lagi semburat
lembayung di pipimu? Aku hanya melihat sebuah telaga air mata di matamu yang
bulat. Mengapa menangis, Mina?
Ingin
kumenggapaimu di kursimu, tak peduli ada aku. Tak dapakan kau rasakan hadirku,
Mina? Tangismu semakin menjadi, kau semakin lekat menunduk dan pandangi sosok
pria di foto dalam pangkuanmu. Ah, kau teringat dia rupanya. Kau teringat saat
itu, di sebuah gang sempit di sebelah selatan taman kota. Kau menjerit
menyaksikan dua orang pria bertato menusukkan pisaunya tepat ke arah aorta
pengalir darah hanya karena uang yang tak seberapa. Atau karena melihatmu yang
manis dengan kalung emas melilit di leher-mu yang jenjang, entahlah. Kamu melihat
pria itu tersungkur dengan darah mengucur dari leher, dada, dan perutnya. Sakit,
Mina, tapi Tuhan menghentikan sakitnya dan pria itu hembuskan nafas terakhirnya
di pelukanmu. Bulan lalu. Aku tahu kau bersedih dan merindukannya.
Aku rindu
kamu, Mina.
**
Mina, hari ini kuiringi kau pergi ke sana. Kau anggun dengan
kerudung hitam di rambutmu. Baju hitammu membuatmu semakin memesona. Cantik sekali.
Kau menenteng sebuah keranjang penuh mawar merah. Harum.
Kita sudah
tiba, Mina. Di sini. Kau menangis sejadi-jadinya menatap sebuah nisan
bertuliskan sebuah nama: Layung Anggara, 1975-2002. Jangan menangis, Mina. Aku tahu
kau mencintainya dan tak akan terganti.
Kau hapus
air matamu dengan kerudungmu yang terjuntai ke tanah merah kuburan itu. Kau usap
nisan itu sekali lagi dan beranjak pergi menjauh. Dan aku kembali terdiam
menatapmu.
Mina,
aku mencintaimu.
**
Akhirnya, aku kembali melihatmu tersenyum. Lihat, Mina, kau
tampak cantik. Pipimu kembali seperti lembayung. Wajahmu kembali seperti
bidadari di surga. Mina, kurasakan kembali hangatnya minggu hari ini. Walau kutahu
masih ada Rabu dalam hatimu.
Mina,
kau kembali ke tempat itu dan aku sudah menunggumu di sana. Aku menunggumu tiba
membawakan sekeranjang mawar untuk kau tabur. Aku dapat melihat senyumanmu dari
sini. Kau usap nisan itu. Tak ada air mata yang membuatku merasa seperti
kemarau. Kau tersenyum, itulah oasis bagiku.
“Layung,
aku selalu mencintaimu, tenanglah di sana dan bergembiralah dengan
bidadari-bidadarimu, aku tahu kau selalu ada di sampingku. Aku selalu merasakan
kehadiranmu, setiap saat, dalam mimpiku, dalam langkahku, dan dalam nafasku. Teruslah
hadir mendampingku, Layung, seperti saat ini. Dan aku akan kembali melangkah
mewujudkan impian kita.”
Ah,
Mina, ternyata kau rasakan hadirku, dan saat in kau genggam tangaku di atas
nisan ini, walau kau tak tahu bahwa aku juga menggenggammu. Erat.
22 September 02
Dewi CW
****dikutip dari antologi cerpen "Perlahan Dalam"****
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar