Blog Archive

"Jiwaku berkata padaku dan menasehatiku agar mencintai semua orang yang membenciku, dan berteman dengan mereka yang memfitnahku." - Kahlil Gibran
Diberdayakan oleh Blogger.
Senin, 18 Januari 2016


“Anak kota tak punya tanah lapang…” kalimat pembuka yang juga kutipan dari lagu Iwan Fals berjudul Mereka Ada di Jalan.
***
Sejak dahulu kawasan tempat saya tinggal sudah cukup dipadati dengan penduduk. Mungkin ini faktor sejarah. Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan yang dibangun atas perintah H. W. Daendels melewati daerah tempat saya tinggal. Tak heran pembangunan di sekitar jalan tersebut cukup pesat.
Kadang saya merasa iri dengan teman-teman yang bisa merasakan permainan tradisional sejak kecilnya karena sewaktu saya kecil tidak terlalu mengenal apa itu kaulinan barudak atau permainan tradisional. Dengan lokasi tempat tinggal yang cukup padat penduduk, sulit sekali menemukan tempat bermain yang nyaman dan memadai. Tak heran tempat bermain saya hanya gang kecil dan lapang kantor RW yang luasnya tidak lebih dari lapangan basket. Tidak ada tanah lapang yang luas.
Dengan keterbatasan ruang bermain, anak-anak gang tetap berkreativitas untuk memenuhi hasrat bermainnya. Nyaman atau tidak nyaman nampaknya tak perlu ditanyakan, yang terpenting bisa main dulu. Dengan ruang seadanya, saya dan kawan-kawan sekitaran tempat tinggal biasa bermain sepak bola, kucing-kucingan, hingga bermain Playstation.
***
Sekarang saya akan coba menggali memori semasa SD (1999-2005) tentang permainan yang pernah dimainkan di kawasan tempat tinggal.
Satu, sepak bola. Karena saya orang Sunda sejak kecil biasa menyebut maénbal. Mungkin inilah permainan yang palng sering saya mainkan. Saat sepak bola dimainkan di tanah lapang yang cukup luas, saya bersama kawan-kawan di gang biasa bermain sepak bola di gang. Ya, gang kecil dengan lebar sekitar satu mobil minibus lebih satu motor. Panjangnya mungkin empat minibus dibariskan. Dalam satu tim paling berkisar 5-7 pemain, tergantung orang yang hadir saat itu. Apabila 10 orang, ya, tinggal dibagi dua tim. Kalau jumlahnya ganjil bagaimana? Kalau 15 orang yang hadir? Dibagi tiga tim. Kalau lebih dari dua tim, sistem permainan dirubah menjadi rarajaan. Oh, ya, kalau jumlah orang yang datang ganjil, satu orang lagi tinggal dimasukkan ke salah satu tim. Biasanya yang satu orang itu pemain yang muda dan skill masih nampak di bawah yang lainnya :P
Perkara sistem. Kalau hanya ada dua tim, main saja sampai puas. Kalau rarajaan? Ini bergantian antartim. Penentuan timnya bisa berdasar kesepakatan atau hompimpa (selanjutnya akan saya sebut gambréng karena kebiasaan pengucapan sejak kecil). Setelah menentukan tim, kemudian ditentukan dua tim main yang mengawali permainan, tim lain istirahat. Nanti kalau sudah ada yang kalah, tim yang istirahat mulai bermain melawan yang menang sebelumnya. Yang disebut kalah yang bagaimana? Ini sesuai kesepakatan sebelumnya, mau bermain dengan 1 gol atau 2 gol. Kalau satu gol, berarti yang kemasukan langsung keluar arena permainan. Kalau dua gol harus sampai ada yang kemasukan dua gol. Sesimpel itu. Kalau bingung, sudahlah, teruskan baca.
Tempat kami bermain sepak bola sebetulnya bukan hanya di gang, ada pula lapang kantor RW dan jalanan di depan kantor RW. Tapi kami sudah biasa main di gang, jadi apa mau dikata. Mungkin ini nyaman karena terbiasa. Biasanya pindah tempat itu karena bosan atau karena penghuni rumah dekat gang tempat bermain sepak bola itu marah-marah lantaran terganggu. Hahaha. Beberapa waktu ke belakang saya melewati tempat-tempat tersebut, kemudian saya mengingat-ngingat sepak bola sewaktu kecil, “Perasaan dulu tempat ini luas bisa dipakai main sepak bola. Sekarang kok sempit?” saya bertanya pada diri sendiri. “Mungkin sekarang badanmu tak sekecil dahulu,” saya menjawabnya.
Dua, kucing-kucingan. Selanjutnya akan saya tulis uucingan karena saya terbiasa menyebutnya begitu dan agar terkesan Sunda pisan. Uucingan atau ucing-ucingan ini enak dimainkan di mana saja. Permainannya simpel sekali. Awalnya semua pemain gambréng untuk menentukan si ucing. Setelah ucing dan pemain yang lain siap, barulah permainan dimulai dengan aba-aba “Cir A, cir B, cir C, ngaciiiiiirrrrrr!!” dari salah satu pemain. Begitu terdengar kata ngacir semua pemain berlarian, ucing mengejar siapa pun yang bukan ucing atau biasa orang lain menyebut tikus. Apabila si ucing bisa menyentuh anggota badan dari salah satu tikus, tikus tersebut kemudian menjadi ucing. Ucing sebelumnya menjadi tikus. Uucingan ini area bermainnya dibatasi, tidak boleh terlalu jauh. Yang keluar wilayah, dia akan jadi ucing.
Dari ucing-ucingan ini ada salah satu inovasinya, yaitu ucing jibéh. Jibéh: hiji kabéh. Ucing jibéh: Ucing hiji, ucing kabéh. Permainannya hampir mirip dengan uucingan. Bedanya hanya pada sistem, jadi saat si ucing dapat menyentuh tikus, tikus tersebut menjadi ucing, dan ucing sebelumnya tetap menjadi ucing. Semakin lama ucing semakin banyak dan tikus semakin sedikit. Jika semua telah menjadi ucing, permainan selesai. Awalnya satu ucing, akhirnya ucing semua. Jadilah ucing jibéh.
Tiga, ucing sumput. Bahasa Indonesianya petak umpet. Saya rasa yang pernah mengalami permainan ini aturan mainnya sama saja. Awalnya gambréng untuk menentukan ucing. Kemudian menentukan hitungan yang harus dihitung oleh ucing ketika yang lain berlarian untuk sembunyi. Teknis penentuan perhitungannya tidak akan saya jelaskan, rumit. Hahaha. Intinya hitungan antara 10 sampai 50, bahkan maksimal 100, tergantung kesepakatan aturan main. Setelah itu ucing menyandarkan tangannya ke tembok seraya wajahnya ditempelkan pada tangan. Dengan demikian ucing tidak bisa melihat siapa-siapa. Yang lain berlari untuk sembunyi. Beres menghitung kemudian ucing mencari yang sembunyi. Jika melihat rekannya bersembunyi di satu tempat, ucing akang kembali ke tembok tadi kemudian berkata “dua lima” seraya menempelkan tangannya. Setelah semua dapat ditemui ucing, yang pertama ketemulah kemudian menjadi ucing. Apabila ucing salah menyebut siapa yang mengumpat di mana, semua pemain keluar dari sembunyinya. Semuanya sembunyi dari awal lagi, dengan menentukan hitungan terlebih dahulu. Lalu apabila di tengah permainan ada pemain yang dapat mendekat ke arah tembok lalu menyentuhnya seraya menyebut “dua lima”, semua pemain kembali sembunyi. Ucing harus menghitung lagi, namun, perhitungannya tetap seperti sebelumnya.
Ucing sumput ini nampaknya mengalami perkembangan menjadi ucing bancakan dan ucing singkong. Ucing bancakan mungkin sudah biasa, tapi ucing singkong saya rasa belum ada di tempat lain, entah. Ucing bancakan mirip dengan ucing sumput hanya saja memakai pecahan genting. Untuk menentukan ucing-nya cukup unik, awalnya pecahan genting ditumpuk menjadi 10 tumpukan. Kemudian setiap pemain berdiri di belakang tumpukan genting tersebut seraya membawa satu pecahan genting andalan atau kojo. Setelah siap, secara bersamaan kojo tersebut dilempar menjauhi tumpukan genting. Yang lemparan kojo-nya paling jauh harus melempar pertama ke arah tumpukan genting yang 10 tadi. Jika bisa meruntuhkan tumpukan tersebut, pemilik kojo yang ada di depannya menjadi ucing. Kalau tidak bisa meruntuhkan, berarti pemilik kojo berikutnya bagian melempar. Begitu terus sampai ucing-nya ada.
Dalam ucing bancakan, ucing-nya harus menumpukkan 10 pecahan genting tersebut. Tidak mudah menyusun tumpukkan genting-genting tersebut, tekstur genting yang tidak beraturan, pecahan yang relatif kecil, serta angin menjadi kesulitan dalam penyusunannya. Belum lagi ketegangan yang dirasakan oleh si ucing. Saat ucing menyusun genting, pemain lainnya bersembunyi. Ke sananya sama saja seperti ucing sumput, hanya medianya saja pecahan genting. Apabila tumpukan genting runtuh oleh angin, ucing wajib mendirikan lagi. Namun, apabila tumpukan genting runtuh oleh yang bersembunyi, semua pemain bisa kembali mengumpat, dan ucing kembali mendirikannya.
Lalu ucing singkong yang 95% sama dengan ucing bancakan, hanya saja medianya menggunakan sandal jepit. Dalam ucing bancakan si ucing harus menumpuk pecahan genting, sedangkan dalam ucing singkong si ucing harus membuat layaknya tugu dari tiga sandal jepit. Kalau bisa membuat dari dua sandal jepit, mengapa tidak? Perkembangan dari ucing bancakan ke ucing singkong ini kemungkinan karena pecahan genting yang sudah jarang ditemukan, jadi beralihlah ke sandal jepit. Dan ucing singkong ini menjadi permainan kucing-kucingan yang paling sering saya mainkan setelah sepak bola.
Semua model permainan ucing-ucinganan ini biasa dimainkan di gang. Mungkin itulah alasan mengapa ucing singkong lebih sering dimainkan. Permainan model ucing-ucingan ini tidak ada akhirnya. Terus berjalan sampai lelah. Biasanya ujung-ujungnya satu-persatu pulang ke rumah dengan alasan disuruh pulang ibunya atau memang sudah lelah ingin minum dan beristirahat.
Empat, main kelereng alias maén kaléci. Main kelereng sendiri intensitasnya tidak setinggi ucing-ucingan karena jika dimainkan banyak orang saya rasa kurang seru. Saya lupa tentang aturan maén kaléci karena jarang sekali dimainkan. Saya memainkan ini kalau tidak salah hanya kelas 1 SD, saat gangnya masih beralaskan tanah. Selain dimainkan di gang, kadang saya bermain kelereng ini di halaman rumah orang lain.
Lima, playstation. Sejak SD kelas 1 saya sudah mengenal playstation. Kurang keren apa coba? Memang saya tidak punya PS, tetapi tetangga ada yang punya. Saya sering diajak ke rumahnya untuk main PS, sampai dikasih makan gratis sama orang tuanya. Hahaha. Kadang kalau teman yang punya PS ingin main games yang tidak dimilikinya, tinggal pergi ke rentalan. Gila tahun 1999-2000an anak kelas 1 SD sudah mengenal PS. Ah, masa kecil. Mungkin ini menjadi pelarian di kala anak kota kesulitan mendapat lahan bermainnya.
***
Tidak banyak permainan yang saya mainkan sejak kecil. Kurang lebih segitu. Banyak faktor yang memengaruhi, mungkin ini di antaranya: Lahan bermain yang kurang; kawasan yang saat itu sudah “ngota”; serta berkembangan pesat di sekitaran Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan. Namun, saya beruntung bisa bermain seperti itu. Saya bisa merasakan bagaimana sulitnya membangun sebuah tugu dari sandal, bisa merasakan kerja sama tim saat bermain sepak bola ala kampung, bisa merasakan dipermalukan saat main kucing-kucingan karena selalu menjadi kucing, ah banyak sekali. Permainan-permainan itulah yang membuat rasa kebersamaan antarsesama menjadi meningkat, yang mengajarkan nikmatnya berproses, mengenali karakter orang lain, dan lain sebagainya. Saya pun tidak pernah menyesali yang sejak kelas 1 SD mengenal playstasion. Walaupun PS bisa dimainkan menggunakan cheat, tetapi dibalik itu saya rasa bisa meningkatkan skill individual, seperti kemampuan berbahasa Inggris, mengulik permainan, mengatur strategi, dan lain-lain. Intinya jangan kehilangan masa bermain anak-anak. Apapun permainannya saya yakin pasti ada manfaatnya. Seimbangkan permainan yang bersifat individu dan kelompok. Kini permainan sudah didominasi oleh permainan modern berbasis teknologi, saya harap permainan tradisional harus tetap ada sebagai penyeimbang.
Maaf apabila tulisan ini bahasanya rumit, sehingga menyulitkan pembaca dalam memahaminya. Saya masih belajar menulis. Semoga bermanfaat. Salam.


IFM

0 komentar: