Blog Archive
"Jiwaku berkata padaku dan menasehatiku agar mencintai semua orang yang membenciku, dan berteman dengan mereka yang memfitnahku." - Kahlil Gibran
Diberdayakan oleh Blogger.
Selasa, 05 Januari 2016
Sore ini Rani begitu asyik dengan
ponsel pintarnya. TV di ruang tengahnya dibiarkan menyala untuk menemani
sorenya Rani yang sepi. Ibunya yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit sedang
bekerja sif sore, pulangnya malam. Sebelum ayahnya Rani pulang, Rani akan
membuatkan teh hangat untuk ayahnya. Memang sudah biasa Rani membuatkan teh
hangat sebelum ayahnya pulang. Namun, Itu pun hanya saat ibunya bekerja sif sore
atau sedang ada keperluan.
“Ah,
nanti saja 15 menitan lagi,” pikirnya yang agak malas untuk membuatkan teh.
Saat itu jam dinding di rumahnya menunjukkan pukul 16.31. Ayahnya biasa tiba di
rumah sekitar pukul lima.
Rani pun kembali menatap layar
ponselnya. Rani memang sulit terlepas dari ponsel pintarnya. Yah, layaknya anak
muda zaman sekarang.
Suatu malam Rani diceritakan oleh
ibunya tentang masa kecil Rani.
“Saat itu ibu tinggal di Jakarta. Di
sana kebetulan kerja di rumah sakit juga. Ibu tidak punya saudara yang rumahnya
bisa ditinggali selama tinggal di Jakarta. Terpaksa ibu menyewa kamar seluas 3
x 4 meter tanpa pendingin ruangan dan televisi. Makllum uang ibu lebih banyak
disisihkan untuk tabungan. Oh, iya, kamar ibu ada di lantai dua.
“Ibu ingat waktu itu bulan Desember.
Sedang musim hujan. Ibu hamil bulan yang ke-9, hanya tinggal menunggu waktu
untuk lahiran kamu, Rani. Hampir semua teman yang menyewa kamar di sana
menanyakan di mana atau ke mana ayahmu. Ibu jawab kalau ayah kerja di Kota
Bandung, karena memang begitu adanya. Banyak teman yang heran dan nampaknya
kesal, kenapa seorang istri yang sedang hamil hampir lahiran tidak ditemani
oleh suaminya? Banyak yang merasa janggal. Padahal untuk cuti bekerja pun bisa,
demi ke Jakarta menemani istrinya.
“Sampai suatu hari hujan deras
mengguyur Jakarta. Lamanya sekitar setengah jam lebih. Akses menuju tempat ibu
menyewa kamar digenangi air alias banjir. Ibu bisa melihatnya dari kamar. Petir
yang menggelegar seolah menjadi penguji kesabaran ibu yang tengah mengandung 9
bulan.
“Perut ibu terasa sakit. Sakit
sekali. Hujan belum juga reda. Ibu merasa harus segera ke rumah sakit untuk
memeriksa kandungan ibu. Saat itu ibu kesulitan untuk berdiri. Ibu mencoba
berteriak meminta tolong dari kamarnya. Hujan yang deras membuat teriakan ibu
tidak terdengar oleh teman-teman yang juga menyewa kamar di sana.
“Entah berapa lama hujan reda. Teman-teman
yang menyewa kamar di sana memasuki kamar ibu karena terdengar tangis bayi.
Saat teman-teman ibu masuk ke kamar, kondisi ibu tidak sadarkan diri.
Teman-teman ibu segera membawa ibu ke rumah sakit.
“Beberapa jam tak sadarkan diri,
akhirnya ibu sadarkan diri. Salah seorang teman dekatnya kemudian menceritakan
apa yang terjadi. Ibu pun mencoba menceritakan kejadian-kejadian yang masih
diingat ibu sebelum tak sadarkan diri.
“Mungkin ini dosaku telah melakukan
hubungan di luar nikah. Aku malu kalau menceritakan semuanya padamu,” ucap ibu
kepada teman dekatnya sebelum kembali tak sadarkan diri.
“Sekitar satu jam ibu tak sadarkan
diri. Hingga akhirnya detak jantungnya berhenti. Dengan segala upaya penanganan
medis, nyawa ibu tidak tertolong. Teman dekatnya itulah yang kini ada di
sampingmu, Rani,”
Ibunya Rani berhenti bercerita
kemudian menyusutkan air matanya dengan tisu. Begitu pun dengan Rani yang sejak
pertengahan cerita mulai menangis.
“Kalau begitu, ibu ini bukan ibu
kandung aku?” tanya Rani.
“Begitulah, karena ibu sayang banget
sama almarhumah ibu kandungmu. Dan ibu tidak tega melihatmu terlantar.”
“Lantas siapa ayahku yang
sebenarnya?”
“Ayahmu yang sekarang adalah ayah
kandungmu, Rani”
“Hah? Ibu kok bisa menikah dengan
lelaki yang pernah menghamili ibu kandungku?” tanya Rani dengan nada agak
tinggi.
“Awalnya ibu tak tahu kalau ibu
menikah dengan ayah kandungmu. Saat ibu berteman dekat dengan ibumu, ibumu
mengaku sudah menikah dengan pria yang bekerja di Bandung. Ibu tidak tahu siapa
pria itu. Awal ibu kenal dengan ayahmu waktu ibu ke Bandung ingin menjelajahi
objek wisata di Bandung. Saat itu ibu mengontak sebuah perusahaan perjalanan
wisata untuk mengantar ibu dan rekan-rekan ibu. Kebetulah ayahmu yang menjadi
pengatur itinerary di perusahaan
perjalanan wisata tersebut. Seiring berjalannya waktu, ibu semakin dekat dengan
ayahmu. Ibu tidak tahu bahwa ayahmu itu adalah orang yang menjalin hubungan
dengan ibu kandungmu saat itu. Dulu ayah mengakui tidak menjalin hubungan
dengan siapa-siapa sehingga ibu tidak segan untuk dekat dengan ayah. Ayahmu
mengaku lajang, sedangkan ibu mengaku janda karena ibu sudah mulai mengurus
kamu. Namun, kita tetap saling cinta.
“Setelah menikah semuanya terbuka.
Ayah pernah bercerita tentang masa lalunya, ibu pun begitu. Ayah pernah bilang
pernah punya hubungan dengan wanita yang tinggal di Jakarta, yang ternyata satu
kantor dengan ibu. Ibu mencoba memancing perkataan ayah, hingga akhirnya
setelah dihubung-hubungkan wanita itu adalah ibu kandungmu. Ibu pun
menceritakan siapa anak yang selama ini diurus oleh ibu. Setelah semua
diceritakan, ibu baru tahu bahwa anak yang selama ini diurus oleh ibu adalah
anak hasil hubungan gelap ayahmu.
“Saat itu pula ibu membenci ayah. Ibu
selalu meminta cerai kepada ayah. Namun, ayah tidak kunjung memutuskan untuk
bercerai,” air mata ibunya Rani semakin mengalir deras. Begitu pun dengan Rani.
Dengan pipi berlumuran air mata,
Rani meracik sebuah ramuan rahasia. Ramuan yang mematikan bagi yang meminumnya.
Kemudian ramuan tersebut dicampurkan dengan teh manis yang dibuat untuk
ayahnya.
Satu gelas teh hangat dengan ramuan
rahasia telah tersaji di atas meja makan. Rani kembali duduk di ruang tengah
seraya meneteskan air mata.
“Assalamu’alaikum,” terdengar suara
ayah yang juga membuka pintu.
Rani buru-buru mengambil tisu untuk
kemudian menghapus air mata di pipinya.
“Waalaikumsalam. Tehnya di meja
makan, Yah.” ujar Rani seraya berjalan masuk ke kamar.
Ayahnya yang dalam keadaan lelah
langsung mendekat ke arah meja makan. Tanpa ragu-ragu ayahnya Rani meneguk
segelas teh hangat yang sudah dibikinkan oleh Rani. Rani yang berada di kamar
kembali menangis, dalam hatinya berkata, “Maafkan
aku, ayah…”
IFM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar