Blog Archive

"Jiwaku berkata padaku dan menasehatiku agar mencintai semua orang yang membenciku, dan berteman dengan mereka yang memfitnahku." - Kahlil Gibran
Diberdayakan oleh Blogger.
Jumat, 07 September 2012
        Jangan-jangan bangsa Indonesia tak pernah sungguh kompak lantaran lagu kebangsaannya tak sungguh menampung ekspresi kolektif kebangsaan itu. Waktu masih kanak-kanak bahkan sampai SMA di Situbondo, daerah Pulau Jawa di Jawa Timur yang bahasa sehari-harinya Madura, kami senantiasa tak bisa khidmat menyanyikannya dalam upacara bendera. Selalu ada yang cekikikan atau setidaknya merasa punya bahan untuk mencemooh mereka yang sok khidmat. Kemudian ketika kuliah di Bandung, setelah jauh dari kultur Madura, saya mendengar teman-teman dari suku lain termasuk Jawa meledek orang Madura dalam lagu Sorak-Sorak Bergembira “… Indonesia merdeka … Madura juga … Indonesia merdeka … Madura juga …,” lantun mereka. Kenapa kami di daerah Madura tak bisa khidmat menyanyikan dan kenapa orang Madura sering dibilang mau memerdekakan diri?
        Kemungkinan jawaban kenapa tak bisa khidmat itu saya peroleh dua pekan lalu ketika bertemu Doktor di bidang musik Harry Roesli. Katanya, Dia menemukan belasan kelemahan Indonesia Raya antara lain berupa kekeliruan penekanan suku kata atas dasar ketukan maupun progress nada-nada dalam Indonesia Raya. Contoh, di awal lagu, atas dasar ketukan maupun profresi nada-nada, orang mau tak mau harus menekan “sia” pada kata “Indonesia”. Padahal, dalam bahasa Indonesia resmi maupun tak resmi, tekanan pada kata yang terdiri atas empat suku kata jatuh pada suku kata ketiga yaitu “ne”. Saya kira ada benarnya. Bukankah hanya pada saat mencemooh, putus asa, marah dan sejenis itu kita menekan suku kata terakhir pada kata-kata yang terdiri atas empat suku kata?
        Pantas Bu Gutu waktu itu tak pernah bercerita aspek representasi kebahasaan Indonesia Raya di tengah berbagai bahasa daerah di Indonesia. Mungkin karena hukum-hukum tekanan pada pengucapan bahasa Madura, yang persis bahasa Indonesia, tak terwakili dalam segi kebahasaan Indonesia Raya. Ini tak sebagaimana aspek representasi warna dalam bendera Merah-Putih. Bu Guru kerap bercerita betapa Merah-Putih mempresentasikan ekspresi merah dan putih di berbagai daerah sejak tajin sampai ragam bias, sejak dulu sampai sekarang. Tak heran muncul ledekan “… Indonesia merdeka … Madura juga …,” pada Sorak-Sorak Bergembira. Tapi apa benar hanya orang Madura yang ingin merdeka dari Indonesia (Raya)?

*Sujiwo Tejo dalam NGAWUR Karena BENAR*

--- Semoga Bermanfaat ---

0 komentar: