Blog Archive

"Jiwaku berkata padaku dan menasehatiku agar mencintai semua orang yang membenciku, dan berteman dengan mereka yang memfitnahku." - Kahlil Gibran
Diberdayakan oleh Blogger.
Senin, 18 Januari 2016


“Anak kota tak punya tanah lapang…” kalimat pembuka yang juga kutipan dari lagu Iwan Fals berjudul Mereka Ada di Jalan.
***
Sejak dahulu kawasan tempat saya tinggal sudah cukup dipadati dengan penduduk. Mungkin ini faktor sejarah. Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan yang dibangun atas perintah H. W. Daendels melewati daerah tempat saya tinggal. Tak heran pembangunan di sekitar jalan tersebut cukup pesat.
Kadang saya merasa iri dengan teman-teman yang bisa merasakan permainan tradisional sejak kecilnya karena sewaktu saya kecil tidak terlalu mengenal apa itu kaulinan barudak atau permainan tradisional. Dengan lokasi tempat tinggal yang cukup padat penduduk, sulit sekali menemukan tempat bermain yang nyaman dan memadai. Tak heran tempat bermain saya hanya gang kecil dan lapang kantor RW yang luasnya tidak lebih dari lapangan basket. Tidak ada tanah lapang yang luas.
Dengan keterbatasan ruang bermain, anak-anak gang tetap berkreativitas untuk memenuhi hasrat bermainnya. Nyaman atau tidak nyaman nampaknya tak perlu ditanyakan, yang terpenting bisa main dulu. Dengan ruang seadanya, saya dan kawan-kawan sekitaran tempat tinggal biasa bermain sepak bola, kucing-kucingan, hingga bermain Playstation.
***
Sekarang saya akan coba menggali memori semasa SD (1999-2005) tentang permainan yang pernah dimainkan di kawasan tempat tinggal.
Satu, sepak bola. Karena saya orang Sunda sejak kecil biasa menyebut maénbal. Mungkin inilah permainan yang palng sering saya mainkan. Saat sepak bola dimainkan di tanah lapang yang cukup luas, saya bersama kawan-kawan di gang biasa bermain sepak bola di gang. Ya, gang kecil dengan lebar sekitar satu mobil minibus lebih satu motor. Panjangnya mungkin empat minibus dibariskan. Dalam satu tim paling berkisar 5-7 pemain, tergantung orang yang hadir saat itu. Apabila 10 orang, ya, tinggal dibagi dua tim. Kalau jumlahnya ganjil bagaimana? Kalau 15 orang yang hadir? Dibagi tiga tim. Kalau lebih dari dua tim, sistem permainan dirubah menjadi rarajaan. Oh, ya, kalau jumlah orang yang datang ganjil, satu orang lagi tinggal dimasukkan ke salah satu tim. Biasanya yang satu orang itu pemain yang muda dan skill masih nampak di bawah yang lainnya :P
Perkara sistem. Kalau hanya ada dua tim, main saja sampai puas. Kalau rarajaan? Ini bergantian antartim. Penentuan timnya bisa berdasar kesepakatan atau hompimpa (selanjutnya akan saya sebut gambréng karena kebiasaan pengucapan sejak kecil). Setelah menentukan tim, kemudian ditentukan dua tim main yang mengawali permainan, tim lain istirahat. Nanti kalau sudah ada yang kalah, tim yang istirahat mulai bermain melawan yang menang sebelumnya. Yang disebut kalah yang bagaimana? Ini sesuai kesepakatan sebelumnya, mau bermain dengan 1 gol atau 2 gol. Kalau satu gol, berarti yang kemasukan langsung keluar arena permainan. Kalau dua gol harus sampai ada yang kemasukan dua gol. Sesimpel itu. Kalau bingung, sudahlah, teruskan baca.
Tempat kami bermain sepak bola sebetulnya bukan hanya di gang, ada pula lapang kantor RW dan jalanan di depan kantor RW. Tapi kami sudah biasa main di gang, jadi apa mau dikata. Mungkin ini nyaman karena terbiasa. Biasanya pindah tempat itu karena bosan atau karena penghuni rumah dekat gang tempat bermain sepak bola itu marah-marah lantaran terganggu. Hahaha. Beberapa waktu ke belakang saya melewati tempat-tempat tersebut, kemudian saya mengingat-ngingat sepak bola sewaktu kecil, “Perasaan dulu tempat ini luas bisa dipakai main sepak bola. Sekarang kok sempit?” saya bertanya pada diri sendiri. “Mungkin sekarang badanmu tak sekecil dahulu,” saya menjawabnya.
Dua, kucing-kucingan. Selanjutnya akan saya tulis uucingan karena saya terbiasa menyebutnya begitu dan agar terkesan Sunda pisan. Uucingan atau ucing-ucingan ini enak dimainkan di mana saja. Permainannya simpel sekali. Awalnya semua pemain gambréng untuk menentukan si ucing. Setelah ucing dan pemain yang lain siap, barulah permainan dimulai dengan aba-aba “Cir A, cir B, cir C, ngaciiiiiirrrrrr!!” dari salah satu pemain. Begitu terdengar kata ngacir semua pemain berlarian, ucing mengejar siapa pun yang bukan ucing atau biasa orang lain menyebut tikus. Apabila si ucing bisa menyentuh anggota badan dari salah satu tikus, tikus tersebut kemudian menjadi ucing. Ucing sebelumnya menjadi tikus. Uucingan ini area bermainnya dibatasi, tidak boleh terlalu jauh. Yang keluar wilayah, dia akan jadi ucing.
Dari ucing-ucingan ini ada salah satu inovasinya, yaitu ucing jibéh. Jibéh: hiji kabéh. Ucing jibéh: Ucing hiji, ucing kabéh. Permainannya hampir mirip dengan uucingan. Bedanya hanya pada sistem, jadi saat si ucing dapat menyentuh tikus, tikus tersebut menjadi ucing, dan ucing sebelumnya tetap menjadi ucing. Semakin lama ucing semakin banyak dan tikus semakin sedikit. Jika semua telah menjadi ucing, permainan selesai. Awalnya satu ucing, akhirnya ucing semua. Jadilah ucing jibéh.
Tiga, ucing sumput. Bahasa Indonesianya petak umpet. Saya rasa yang pernah mengalami permainan ini aturan mainnya sama saja. Awalnya gambréng untuk menentukan ucing. Kemudian menentukan hitungan yang harus dihitung oleh ucing ketika yang lain berlarian untuk sembunyi. Teknis penentuan perhitungannya tidak akan saya jelaskan, rumit. Hahaha. Intinya hitungan antara 10 sampai 50, bahkan maksimal 100, tergantung kesepakatan aturan main. Setelah itu ucing menyandarkan tangannya ke tembok seraya wajahnya ditempelkan pada tangan. Dengan demikian ucing tidak bisa melihat siapa-siapa. Yang lain berlari untuk sembunyi. Beres menghitung kemudian ucing mencari yang sembunyi. Jika melihat rekannya bersembunyi di satu tempat, ucing akang kembali ke tembok tadi kemudian berkata “dua lima” seraya menempelkan tangannya. Setelah semua dapat ditemui ucing, yang pertama ketemulah kemudian menjadi ucing. Apabila ucing salah menyebut siapa yang mengumpat di mana, semua pemain keluar dari sembunyinya. Semuanya sembunyi dari awal lagi, dengan menentukan hitungan terlebih dahulu. Lalu apabila di tengah permainan ada pemain yang dapat mendekat ke arah tembok lalu menyentuhnya seraya menyebut “dua lima”, semua pemain kembali sembunyi. Ucing harus menghitung lagi, namun, perhitungannya tetap seperti sebelumnya.
Ucing sumput ini nampaknya mengalami perkembangan menjadi ucing bancakan dan ucing singkong. Ucing bancakan mungkin sudah biasa, tapi ucing singkong saya rasa belum ada di tempat lain, entah. Ucing bancakan mirip dengan ucing sumput hanya saja memakai pecahan genting. Untuk menentukan ucing-nya cukup unik, awalnya pecahan genting ditumpuk menjadi 10 tumpukan. Kemudian setiap pemain berdiri di belakang tumpukan genting tersebut seraya membawa satu pecahan genting andalan atau kojo. Setelah siap, secara bersamaan kojo tersebut dilempar menjauhi tumpukan genting. Yang lemparan kojo-nya paling jauh harus melempar pertama ke arah tumpukan genting yang 10 tadi. Jika bisa meruntuhkan tumpukan tersebut, pemilik kojo yang ada di depannya menjadi ucing. Kalau tidak bisa meruntuhkan, berarti pemilik kojo berikutnya bagian melempar. Begitu terus sampai ucing-nya ada.
Dalam ucing bancakan, ucing-nya harus menumpukkan 10 pecahan genting tersebut. Tidak mudah menyusun tumpukkan genting-genting tersebut, tekstur genting yang tidak beraturan, pecahan yang relatif kecil, serta angin menjadi kesulitan dalam penyusunannya. Belum lagi ketegangan yang dirasakan oleh si ucing. Saat ucing menyusun genting, pemain lainnya bersembunyi. Ke sananya sama saja seperti ucing sumput, hanya medianya saja pecahan genting. Apabila tumpukan genting runtuh oleh angin, ucing wajib mendirikan lagi. Namun, apabila tumpukan genting runtuh oleh yang bersembunyi, semua pemain bisa kembali mengumpat, dan ucing kembali mendirikannya.
Lalu ucing singkong yang 95% sama dengan ucing bancakan, hanya saja medianya menggunakan sandal jepit. Dalam ucing bancakan si ucing harus menumpuk pecahan genting, sedangkan dalam ucing singkong si ucing harus membuat layaknya tugu dari tiga sandal jepit. Kalau bisa membuat dari dua sandal jepit, mengapa tidak? Perkembangan dari ucing bancakan ke ucing singkong ini kemungkinan karena pecahan genting yang sudah jarang ditemukan, jadi beralihlah ke sandal jepit. Dan ucing singkong ini menjadi permainan kucing-kucingan yang paling sering saya mainkan setelah sepak bola.
Semua model permainan ucing-ucinganan ini biasa dimainkan di gang. Mungkin itulah alasan mengapa ucing singkong lebih sering dimainkan. Permainan model ucing-ucingan ini tidak ada akhirnya. Terus berjalan sampai lelah. Biasanya ujung-ujungnya satu-persatu pulang ke rumah dengan alasan disuruh pulang ibunya atau memang sudah lelah ingin minum dan beristirahat.
Empat, main kelereng alias maén kaléci. Main kelereng sendiri intensitasnya tidak setinggi ucing-ucingan karena jika dimainkan banyak orang saya rasa kurang seru. Saya lupa tentang aturan maén kaléci karena jarang sekali dimainkan. Saya memainkan ini kalau tidak salah hanya kelas 1 SD, saat gangnya masih beralaskan tanah. Selain dimainkan di gang, kadang saya bermain kelereng ini di halaman rumah orang lain.
Lima, playstation. Sejak SD kelas 1 saya sudah mengenal playstation. Kurang keren apa coba? Memang saya tidak punya PS, tetapi tetangga ada yang punya. Saya sering diajak ke rumahnya untuk main PS, sampai dikasih makan gratis sama orang tuanya. Hahaha. Kadang kalau teman yang punya PS ingin main games yang tidak dimilikinya, tinggal pergi ke rentalan. Gila tahun 1999-2000an anak kelas 1 SD sudah mengenal PS. Ah, masa kecil. Mungkin ini menjadi pelarian di kala anak kota kesulitan mendapat lahan bermainnya.
***
Tidak banyak permainan yang saya mainkan sejak kecil. Kurang lebih segitu. Banyak faktor yang memengaruhi, mungkin ini di antaranya: Lahan bermain yang kurang; kawasan yang saat itu sudah “ngota”; serta berkembangan pesat di sekitaran Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan. Namun, saya beruntung bisa bermain seperti itu. Saya bisa merasakan bagaimana sulitnya membangun sebuah tugu dari sandal, bisa merasakan kerja sama tim saat bermain sepak bola ala kampung, bisa merasakan dipermalukan saat main kucing-kucingan karena selalu menjadi kucing, ah banyak sekali. Permainan-permainan itulah yang membuat rasa kebersamaan antarsesama menjadi meningkat, yang mengajarkan nikmatnya berproses, mengenali karakter orang lain, dan lain sebagainya. Saya pun tidak pernah menyesali yang sejak kelas 1 SD mengenal playstasion. Walaupun PS bisa dimainkan menggunakan cheat, tetapi dibalik itu saya rasa bisa meningkatkan skill individual, seperti kemampuan berbahasa Inggris, mengulik permainan, mengatur strategi, dan lain-lain. Intinya jangan kehilangan masa bermain anak-anak. Apapun permainannya saya yakin pasti ada manfaatnya. Seimbangkan permainan yang bersifat individu dan kelompok. Kini permainan sudah didominasi oleh permainan modern berbasis teknologi, saya harap permainan tradisional harus tetap ada sebagai penyeimbang.
Maaf apabila tulisan ini bahasanya rumit, sehingga menyulitkan pembaca dalam memahaminya. Saya masih belajar menulis. Semoga bermanfaat. Salam.


IFM
Kamis, 14 Januari 2016
Nongkrong itu menjadikan obrolan yang penting jadi ga penting, yang ga penting jadi penting. Kejadiannya saat itu, saat di Kantin Nasion Rumah The Panasdalam. Entah siapa yang nyeletuk bertanya, “Naon bédana nongton jeung lalajo?” kurang lebih begitu. Setelah beberapa menit membicarakan tentang perbedaan itu akhirnya tak kunjung ada jawaban.
Sampai pada saatnya saya teringat lagi kejadian itu. Mendadak penasaran membuka Kamus Basa Sunda R. A. Danadibrata. Berdasar kamus tersebut dan penafsiran saya, kata “nongton” dan “lalajo” itu tidak ada perbedaan secara pengertian maupun makna. Perbedaannya hanya sebatas kata mana yang lemes. Dan kata nongton itu bentuk lemes dari kata lalajo. Ya, perbedaannya sebatas itu, Cuma segitu. Tidak lebih. menurut penafsiran saya.
Sebagai tambahan, kata nongton merupakan kata kerja yang terbentuk dari kata dasar tongton. Serta tongton sendiri berasal dari Bahasa Kawi, ton, yang berarti ténjo dalam Bahasa Sunda.


IFM
Selasa, 05 Januari 2016
Sore ini Rani begitu asyik dengan ponsel pintarnya. TV di ruang tengahnya dibiarkan menyala untuk menemani sorenya Rani yang sepi. Ibunya yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit sedang bekerja sif sore, pulangnya malam. Sebelum ayahnya Rani pulang, Rani akan membuatkan teh hangat untuk ayahnya. Memang sudah biasa Rani membuatkan teh hangat sebelum ayahnya pulang. Namun, Itu pun hanya saat ibunya bekerja sif sore atau sedang ada keperluan.
Ah, nanti saja 15 menitan lagi,” pikirnya yang agak malas untuk membuatkan teh. Saat itu jam dinding di rumahnya menunjukkan pukul 16.31. Ayahnya biasa tiba di rumah sekitar pukul lima.
Rani pun kembali menatap layar ponselnya. Rani memang sulit terlepas dari ponsel pintarnya. Yah, layaknya anak muda zaman sekarang.
Suatu malam Rani diceritakan oleh ibunya tentang masa kecil Rani.
“Saat itu ibu tinggal di Jakarta. Di sana kebetulan kerja di rumah sakit juga. Ibu tidak punya saudara yang rumahnya bisa ditinggali selama tinggal di Jakarta. Terpaksa ibu menyewa kamar seluas 3 x 4 meter tanpa pendingin ruangan dan televisi. Makllum uang ibu lebih banyak disisihkan untuk tabungan. Oh, iya, kamar ibu ada di lantai dua.
“Ibu ingat waktu itu bulan Desember. Sedang musim hujan. Ibu hamil bulan yang ke-9, hanya tinggal menunggu waktu untuk lahiran kamu, Rani. Hampir semua teman yang menyewa kamar di sana menanyakan di mana atau ke mana ayahmu. Ibu jawab kalau ayah kerja di Kota Bandung, karena memang begitu adanya. Banyak teman yang heran dan nampaknya kesal, kenapa seorang istri yang sedang hamil hampir lahiran tidak ditemani oleh suaminya? Banyak yang merasa janggal. Padahal untuk cuti bekerja pun bisa, demi ke Jakarta menemani istrinya.
“Sampai suatu hari hujan deras mengguyur Jakarta. Lamanya sekitar setengah jam lebih. Akses menuju tempat ibu menyewa kamar digenangi air alias banjir. Ibu bisa melihatnya dari kamar. Petir yang menggelegar seolah menjadi penguji kesabaran ibu yang tengah mengandung 9 bulan.
“Perut ibu terasa sakit. Sakit sekali. Hujan belum juga reda. Ibu merasa harus segera ke rumah sakit untuk memeriksa kandungan ibu. Saat itu ibu kesulitan untuk berdiri. Ibu mencoba berteriak meminta tolong dari kamarnya. Hujan yang deras membuat teriakan ibu tidak terdengar oleh teman-teman yang juga menyewa kamar di sana.
“Entah berapa lama hujan reda. Teman-teman yang menyewa kamar di sana memasuki kamar ibu karena terdengar tangis bayi. Saat teman-teman ibu masuk ke kamar, kondisi ibu tidak sadarkan diri. Teman-teman ibu segera membawa ibu ke rumah sakit.
“Beberapa jam tak sadarkan diri, akhirnya ibu sadarkan diri. Salah seorang teman dekatnya kemudian menceritakan apa yang terjadi. Ibu pun mencoba menceritakan kejadian-kejadian yang masih diingat ibu sebelum tak sadarkan diri.
“Mungkin ini dosaku telah melakukan hubungan di luar nikah. Aku malu kalau menceritakan semuanya padamu,” ucap ibu kepada teman dekatnya sebelum kembali tak sadarkan diri.
“Sekitar satu jam ibu tak sadarkan diri. Hingga akhirnya detak jantungnya berhenti. Dengan segala upaya penanganan medis, nyawa ibu tidak tertolong. Teman dekatnya itulah yang kini ada di sampingmu, Rani,”
Ibunya Rani berhenti bercerita kemudian menyusutkan air matanya dengan tisu. Begitu pun dengan Rani yang sejak pertengahan cerita mulai menangis.
“Kalau begitu, ibu ini bukan ibu kandung aku?” tanya Rani.
“Begitulah, karena ibu sayang banget sama almarhumah ibu kandungmu. Dan ibu tidak tega melihatmu terlantar.”
“Lantas siapa ayahku yang sebenarnya?”
“Ayahmu yang sekarang adalah ayah kandungmu, Rani”
“Hah? Ibu kok bisa menikah dengan lelaki yang pernah menghamili ibu kandungku?” tanya Rani dengan nada agak tinggi.
“Awalnya ibu tak tahu kalau ibu menikah dengan ayah kandungmu. Saat ibu berteman dekat dengan ibumu, ibumu mengaku sudah menikah dengan pria yang bekerja di Bandung. Ibu tidak tahu siapa pria itu. Awal ibu kenal dengan ayahmu waktu ibu ke Bandung ingin menjelajahi objek wisata di Bandung. Saat itu ibu mengontak sebuah perusahaan perjalanan wisata untuk mengantar ibu dan rekan-rekan ibu. Kebetulah ayahmu yang menjadi pengatur itinerary di perusahaan perjalanan wisata tersebut. Seiring berjalannya waktu, ibu semakin dekat dengan ayahmu. Ibu tidak tahu bahwa ayahmu itu adalah orang yang menjalin hubungan dengan ibu kandungmu saat itu. Dulu ayah mengakui tidak menjalin hubungan dengan siapa-siapa sehingga ibu tidak segan untuk dekat dengan ayah. Ayahmu mengaku lajang, sedangkan ibu mengaku janda karena ibu sudah mulai mengurus kamu. Namun, kita tetap saling cinta.
“Setelah menikah semuanya terbuka. Ayah pernah bercerita tentang masa lalunya, ibu pun begitu. Ayah pernah bilang pernah punya hubungan dengan wanita yang tinggal di Jakarta, yang ternyata satu kantor dengan ibu. Ibu mencoba memancing perkataan ayah, hingga akhirnya setelah dihubung-hubungkan wanita itu adalah ibu kandungmu. Ibu pun menceritakan siapa anak yang selama ini diurus oleh ibu. Setelah semua diceritakan, ibu baru tahu bahwa anak yang selama ini diurus oleh ibu adalah anak hasil hubungan gelap ayahmu.
“Saat itu pula ibu membenci ayah. Ibu selalu meminta cerai kepada ayah. Namun, ayah tidak kunjung memutuskan untuk bercerai,” air mata ibunya Rani semakin mengalir deras. Begitu pun dengan Rani.
Dengan pipi berlumuran air mata, Rani meracik sebuah ramuan rahasia. Ramuan yang mematikan bagi yang meminumnya. Kemudian ramuan tersebut dicampurkan dengan teh manis yang dibuat untuk ayahnya.
Satu gelas teh hangat dengan ramuan rahasia telah tersaji di atas meja makan. Rani kembali duduk di ruang tengah seraya meneteskan air mata.
“Assalamu’alaikum,” terdengar suara ayah yang juga membuka pintu.
Rani buru-buru mengambil tisu untuk kemudian menghapus air mata di pipinya.
“Waalaikumsalam. Tehnya di meja makan, Yah.” ujar Rani seraya berjalan masuk ke kamar.
Ayahnya yang dalam keadaan lelah langsung mendekat ke arah meja makan. Tanpa ragu-ragu ayahnya Rani meneguk segelas teh hangat yang sudah dibikinkan oleh Rani. Rani yang berada di kamar kembali menangis, dalam hatinya berkata, “Maafkan aku, ayah…


IFM
Kamis, 24 Desember 2015


Long week end tiba. Tanggal merah sebagai penanda Natal akan tiba esok hari. Pekan depan masih ada lagi long week end. Pekan depan tanggal merah penanda tahun baru masehi. Belum lagi sekarang sedang liburan anak sekolah. Sebagian besar mahasiswa pun sudah banyak yang libur antarsemester. Oh, ya, hari ini Kamis, 24 Desember 2015.
Sebagai orang Bandung, yang lahir dan sampai sekarang tetap di Bandung, merasa tidak heran dengan kemacetan Kota Bandung yang menjadi langganan saat akhir pekan tiba. Apalagi sekarang ini long week end. Kalender di rumah saya menunjukkan tanggal merahnya pada hari Jumat, tetapi Kota Bandung sudah macet sejak hari Rabu. Ternyata, hari ini (Kamis) peringatan Maulid Nabi, kalender di rumah saya ga ada tandanya. Oh, ya, kemacetan Kota Bandung yang hari Rabu itu saya tahu dari berita televisi. Namun, saya tidak terlalu menyimak beritanya karena saya rasa sudah biasa. Tetapi ada yang membuat saya bingung. Apakah mereka sedang berwisata di Kota Bandung atau memang warga Kota Bandung yang sedang sibuk? Jika benar sedang berwisata, siapakah mereka? Orang Bandung yang sedang berwisata di kotanya sendiri atau orang luar Bandung. Ah, sudahlah lagian saya sudah malas untuk menyimaknya, bukan?
Seperti biasa saya bangun tidur agak siang karena akhir-akhir ini sering tidur subuh. Setelah bangun tidak lupa pula untuk sarapan. Kalau tidak ada kepentingan biasanya langsung menyalakan laptop untuk kemudian online. Sebagai jobseeker apalagi aktivitasnya. Hahaha. Biasanya saya cek email sama line, terus baca-baca dikit yang ada di timeline twitter, dan lihat trending topic. Hari ini begitu banyak yang update status di media sosial dan pemberitaan di beberapa portal perihal macet. Saya tidak tahu kebenarannya, karena kalau yang update status di medsos kadang tidak ada bukti fotonya. Tapi walau demikian saya mempercayai bahwa di luar sana sedang terjadi kemacetan di banyak titik, baik di Bandung maupun luar Bandung. Objek-objek wisata di mana-mana menjadi tujuan banyak orang untuk mengisi waktu long week end-nya. Tidak ada yang salah.
Di medsos banyak sekali yang update status mengeluhkan kemacetan. Kadang saya heran sama orang yang update status mengeluhkan kemacetan tetapi dirinya sendiri bagian dari kemacetan. Ya, saya juga suka jengkel saat merasakan kemacetan, terlebih saat naik angkutan umum. Tetapi saya selalu untuk coba menahan keluhan itu, karena saya ada di dalamnya.
Ada lagi yang mengeluhkan kemacetan tetapi dirinya bukan bagian dari kemacetan. Contohnya, saya pernah mengeluhkan tentang macet di Kota Bandung, tetapi saat itu saya tidak berada dalam kemacetan. Nah, saya mengeluhkan ini bukan karena macetnya, tetapi kalau saat macet suka banyak mengeluh macet dan yang mengeluhnya bagian dari kemacetan. Kadang saya malas juga bacanya.
Terakhir, di lingkungan sekitar saya banyak orang merasa sangat bangga sama Bandung yang selalu diekspos media tentang tempat-tempat rekreasinya. Bandung dengan alam yang indah dan segala kreativitas penduduknya menjadi daya tarik wisatawan, baik lokal Bandung, nasional, atau internasional. Banyak tempat wisata di Bandung yang akhir-akhir ini diekspos media. Karena orang Bandung yang katanya hobi selfie untuk kemudian di-upload di medsos, biasanya tempat tersebut menjadi hits lalu media mengeksposnya. Dari situlah awal ramainya tempat-tempat wisata di daerah Bandung. Akibatnya jalanan menjadi macet dipenuhi wisatawan.
Oh, ya, saya bukan termasuk orang yang sangat bangga ketika melihat tempat wisata di Bandung dan sekitarnya terekspos media. Mengapa? Karena mengakibatkan macet! Hehehe.
 
NB: Di tulisan itu kadang saya menuliskan “Kota Bandung”, kadang juga “Bandung. Kota Bandung berarti hanya wilayah Kota Bandung. Kalau Bandung berarti Bandung Raya atau Bandung dan sekitarnya yang mencakup Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, serta Kota Cimahi.


IFM